Tuesday, February 17, 2009

Satu Hari Sendiri

(pindahan dari blogspot, yg kuposting 08 Desember 2008)

Pagi itu bangun kepagian, maka aku memulai hari dgn membaca salah satu cerpen di buku “Satu Hari Berani”nya Sitta Karina, yg berjudul Blue-Sky Holiday. Entah karena aku memang lagi down or Sitta bagus banget deskripsiinya, belum juga mandi, tapi mataku udah basah dipenuhi air mata, terngiang-ngiang tokoh Brama di cerpen itu. Oh Suratan Takdir.

Pagi menghangat, aku bersiap berangkat ke misa pernikahan rekan satu tim ku Robert, usai mandi moodku beranjak lebih bagus, untunglah. Ready to go. Wearing kebaya sutra Makasar, selendang n jeans, rambut kriwil-kriwil hasil kerjanya BaByliss, hehe jadi mirip pemain silat Cina kesasar. Drive my little Pica, teriak-teriak nemenin Steven n Pohon Kelapa konser, mencoba menikmati kemacetan khas Depok. Lama-lama ga tahan juga, kepikir lewat jalan alternative aja deh. Kebetulan semalem baru lewat jalan yg sama juga n keliatannya ga ada masalah.

Dua kilo pertama aman damai, sempat heran juga kok jalanan kosong banget ga ketemu angkot yg biasa lewat jalur itu. Tiba-tiba tuwiwing, di depanku terpajang pengumuman “maaf jalan anda dialihkan”, ga ada pilihan lagi hanya ada belokan ke kiri, hmm ya sudahlah ikutin aja Inova silver di depan. Jalan itu hanya cukup satu mobil dan ketika ada gerobak sayur lagi mangkal terpaksa lah menunggu hingga ia jalan dan melewatinya setelah jalan lowong. Tiga menit kemudian, tuwiwing kedua, Inova itu berhenti agak lama, sang pengemudi turun, membuka pintu pagar dan masuk rumah. Yiuk marii, aku tinggal sendiri, tak ada mobil di belakang ku, hanya ada beberapa motor. Pede aja deh ikutin jalan itu, toh hanya satu satunya, pikirku.

Sampai di suatu persimpangan, aku bertanya pada beberapa remaja yg asyik ngerumpi di jalan, mereka menyarankan aku ambil jalan yg lurus karena yg kekanan jalannya rusak. Okelah aku lurus. Jalannya memang bagus tapi sempit, pas aja dua mobil, tak ayal spionku sempat senggolan sama spion taxi yg diparkir agak menjorok ke tengah jalan. Untunglah ga banyak mobil yg lewat. Hmm. Bertemu lagi satu persimpangan, aku bertanya serius kepada seorang Ibu, ia menyarankan aku ambil jalan ke kiri yg tembus ke Ciganjur. Okay aku belok kiri. Then, jalan yg kulewati semakin lama semakin aneh, udah ga ada rumah lagi, ladang, perkebunan, tanah kosong, hanya ada beberapa bangunan semi permanen yg aku ga berani nengok juga apakah jenisnya, jalanan rusak, lubang menganga di mana-mana. Satu dua kali motor ngebut melewatiku. Sisanya sepi. Aku benar-benar panik. Tapi kusadari ga mungkin menelepon orang rumah atau kakakku, aku ga mau bikin mereka panik juga, lagi pula ga ada gunanya, lha wong aku aja ga tau berada di mana, kanan kiri kucari plang nama jalan juga ga ada.

Saat itulah aku benar-benar ngerasa putus asa, bingung, mau putar balik juga ga ada tempat yg cukup pas untuk memutar, lagi pula aku ga yakin bisa balik ke jalan yg benar. Mau jalan ngebut supaya cepat sampe tp jalan rusak, kalaupun cepat sampe kemana juga ga jelas. Mau jalan pelan takut juga karena jalan itu sepi sekali. Tak sadar aku menangis dan meraung sendiri sambil tetap menjalankan mobil. Hanya satu harapku, Tuhan, tolongin Ita. Aku benar-benar takut saat itu. Tak terbayang kalau si pica rewel atau habis bensin, Ya Allah, am in the middle of nowhere, bisikku putus asa.

Tapi Tuhan memang tidak pernah memberi ujian diluar batas kemampuan mahluknya, saat aku merasakan kakiku mulai melayang sakhing takutnya, rasanya jauh sekali jalan yg kulewati, tiba-tiba sampailah aku di perempatan, pilihan ke kanan tertutup juga, ada plang yg sama seperti yg kutemui di awal tersesatku, aku seperti berhalusinasi, jangan-jangan aku kembali ke jalan yg tadi. Pilihan ke muka jalanannya sama kecil seperti yg kulewati tadi. Reflek aku memilih belok ke kiri, jalan cukup besar dan agak mulus. Sebelah kiriku ada sungai yg cukup besar. Tapi aku belum juga sadar aku dimana. Hingga setengah kilometer baru aku lihat satu plang yg dibagian bawahnya tertulis, Krukut. Astaga dari Beji sudah hampir Jagakarsa kok bisa-bisanya aku nyasar sampai ke Krukut, daerah Cinere to Pondok Labu, yg jauhh buanget.

Aku terus mengikuti jalan itu, sambil meraba-raba, ini Krukut bagian mana yah. Tak berapa lama, di suatu tikungan bertemu dengan sebuah angkot merah. Alhamdulilah, akhirnya ketemu angkot juga. Rasanya senang sekali hatiku dan aku mulai menangis lagi, kali ini tangis bahagia. Tak sadar aku jalan lelet sekali karena sibuk menyeka air mata. Luntur sudah perona mataku. Rambut juga mulai berantakan. Baju basah penuh keringat. Hingga sebuah angkot lain melewatiku sambil mengomel-ngomel terganggu pelannya jalanku. Tapi entah kenapa aku senang aja mendapatkan cercaan itu. Kuikuti saja ia sampai aku bertemu jalan besar yg ku kenali dengan baik. Aku tahu tidak mungkin aku bisa menghadiri pernikahan Robert, acaranya pasti sudah selesai. Sedih, kecewa, kakiku masih gemetar, tapi aku bersyukur, setidaknya aku masih diberi keselamatan olehNya. Terima kasih Ya Allah.

Tiba di rumah, baru saja kututup gerbang dan byurrr hujan deras mengucur dari langit. Siang hingga sore itu, hujan tidak berhenti mengguyur Depok dan Jakarta, disertai angin, pohon tumbang, jalanan macet di mana-mana. Ternyata Tuhan punya maksud, Ia tak tega membiarkanku sendirian melalui semua itu. Ia mau aku tidur nyenyak di kamarku, ditemani si ganteng Afgan yg ku putar lamat-lamat, sadis benar caramu menyingkirkan diriku. Zzz. Melayang-layang mimpi bertemu Sitta. Protes ah, Sitta, kenapa sih Brama harus cepet mati. Takdir, Ta. Tau khan, hidup mati, jodoh, rejeki, semua itu suratan takdir. Yah. Sama seperti hari ini, tersesat dan terselamatkan, bagian dari takdirku juga.

No comments:

Post a Comment