Monday, May 19, 2008

[Cerpen] Hair Dryer Marisa

Hulaa.. cerpen kedua niy.. tulung kasih input yahh..  pesen yang mau aku sampein dari tulisan ini: orang itu ga selalu seburuk yang kita duga, kadang ia cuma polos-polos aja pikirannya, tapi kita udah kepusingan mengira dia A,B,C,D,E.. kasian khan.. enjoy yaa..

HAIR DRYER MARISA

Sebagian besar rekan sejawatnya tahu betapa tergantungnya Marisa pada hair dryernya. Alat elektronik satu itu selalu ada dalam tas kerja yang setia menemaninya bertugas. Bendanya sendiri tak terlalu istimewa, bukan buatan merek ternama, tidak sehebat hair dryer yang ada di salon-salon terkemuka, berwarna merah muda dan tidak terlalu besar ukurannya sehingga membuat Marisa merasa nyaman membawanya kemana pun ia pergi.

"Ini obat cantikku" aku Marisa dengan bangga pada mereka yang menanyainya tentang benda itu. Para kameramen pun sudah hafal kebiasaanya menghilang selama satu dua menit dengan hair dryer di tangan sebelum tampil membawakan liputan langsung. Ia memang sangat tidak percaya diri tampil di tv jika rambutnya dalam keadaan "tak layak kamera" istilah yang ia berikan pada rambut yang tak tersisir rapi. Anehnya kadang ketergantungannya terlalu berlebihan, seperti orang mencandu, bahkan ketika ia pergi ke salon pun ia meminta mbak mas kapster untuk menggunakan hair dryer yang ia bawa. Alasannya macam-macam, seringkali ia bilang hair dryer di salon terlalu panas dan merusak rambutnya, tapi kadang ia berseloroh dalam canda "disuruh mbah dukun pakai hair dryer ini terus mbak, kalau tidak nanti susuknya hilang", dan sang kapster dibuatnya enggan berbantah lagi.

Namun tak seorang pun yang menyangka bahwa hair dryer itu akan begitu setia pada tuannya, hingga turut mengantar Marisa ke gerbang kematiannya. Setidaknya itulah kesan yang tertangkap dari ulasan berita koran-koran lokal di negeri Cory Aquino pagi itu. Tertulis besar di halaman depan, Jurnalis Indonesia Ditemukan Tewas di Kamar Hotel. Dijelaskan disana, reporter berita sebuah tv swasta dari Indonesia bernama Marisa telah mengakhiri hidupnya dengan melilitkan kabel hair dryer di lehernya yang jenjang. Saat ditemukan menjelang jam delapan malam waktu setempat oleh pihak hotel, tubuhnya terkulai di bangku kecil di depan meja rias, di kanan kirinya tergeletak notebook yang masih setengah terbuka dan layarnya pun masih menyala, dua buah telepon genggam berserakan di atas lantai beralas karpet. Hair dryer itu tidak lagi tersambung ke aliran listrik, tetapi panas yang tersisa dan sisir yang terlempar tidak jauh dari tubuh korban menunjukkan Marisa belum lama lalu menata rambutnya.

Jika saja tidak ada sebatang rokok yang masih menyala dan terjatuh hingga membolongi karpet dan menyeruakkan bau gosong di dalam kamar itu, tentu tetangga depan kamar Marisa tidak akan menaruh curiga dan melaporkan pada pihak hotel. Untung saja kebakaran belum sempat meluas dan merusakkan tempat kejadian perkara, hingga para penyelidik masih dapat bergerak bebas melakukan pekerjaanya. Untuk sementara waktu kepolisian metro Manila menyimpulkan Marisa mengambil jalan pintas mengakhiri hidupnya seusai menerima berita via telepon ataupun via internet yang mengejutkan. Tetapi stasiun televisi tempatnya bekerja meminta kepolisian Manila melebarkan penyelidikannya pada pihak-pihak yang terkait dengan berita liputan Marisa dan Ariyo kameramennya. Mereka mengantisipasi adanya kemungkinan Marisa dihabisi pihak yang merasa dirugikan dengan liputan Marisa. Marisa dan Ariyo memang tengah mengejar berita seputar kasus korupsi yang dilakukan salah satu petinggi di negeri penghasil pisang itu. Mereka berencana membuat liputan eksklusif berupa studi banding penanganan korupsi di Filipina dengan di Indonesia, sebagai bentuk keprihatinan mereka akan banyaknya kasus korupsi yang tidak terselesaikan di Indonesia.

Mungkinkah Marisa diincar oleh pelaku korupsi di Filipina, atau justru oleh salah satu oknum dari Indonesia. Ada banyak kemungkinan. Yang pasti sejak kejadian itu, Ariyo pun berada dalam pengawalan penuh petugas Kedutaan Besar RI, ia menolak memberi keterangan kepada pers setempat kecuali didampingi oleh pengacara dan petugas kepolisian metro Manila. Kecurigaan ini membuat kepolisian Manila meminta izin pada pihak kedutaan dan keluarga untuk menahan jenazah Marisa berikut hair dryer dan barang bukti lainnya hingga penyidikan selesai. Mereka menjanjikan dalam dua kali dua puluh empat jam kasus ini akan terungkap.

Orang tua Marisa menugaskan Andika, kakak Marisa berangkat ke Manila pagi itu juga mendampingi Rinaldi, sang produser pelaksana acara berita yang dikirim oleh stasiun tv tempat Marisa bekerja. Keduanya bertolak dalam gelisah, duduk bersandingan di pesawat tanpa terucap satu kata pun. Diam dalam perenungan. Masih seperti mimpi membayangkan Marisa yang ceria, cerdas, pandai bergaul dan sangat mandiri itu akan menyisakan cerita tragis di akhir hidupnya. Mereka ingat, Marisa selalu bersemangat dalam penugasan liputan di berbagai tempat, bahkan medan perang yang berbahaya sekalipun. Ia begitu mencintai pekerjaannya hingga nekat meminta kelonggaran pada kedua orang tuanya untuk dibiarkan tidak berpikir tentang pasangan hidup dan pernikahan sampai tiga tahun kedepan, saat dirasa langkahnya telah cukup untuk menjadi reporter yang matang. Ia terobsesi mengikuti jejak seniornya, idolanya, reporter di stasiun tv yang menjadi pesaing berat tv Marisa, Meutya Hafidz yang tersohor karena kemampuannya bertahan hidup saat disandera pelaku perang di Timur Tengah.

"Aku ingin jadi reporter yang menjadi berita utama, bukan melulu memberitakan orang lain" kata Marisa pada Rinaldi, suatu hari setelah ia menuntaskan membaca buku karangan Meutya Hafidz. Rinaldi menghela nafas, ah anak asuhku yang tak bisa diam, kini kau sudah jadi berita Marisa, tapi aku tak pernah berharap berita macam ini yang akan disampaikan jurnalis lain tentangmu, desah Rinaldi.

Satu kali dua puluh empat jam berlalu sejak tubuh Marisa ditemukan. Polisi masih tetap pada kesimpulan mereka yang pertama. Marisa bunuh diri. Kamar tempat kejadian perkara telah selesai disisir, berikut koridor lantai 11 hotel bintang empat itu, juga toko obat yang sempat dikunjungi Marisa sore sebelumnya. Tak ada yang mencurigakan, tak ditemui bekas pencongkelan atau sesuatu barang pun yang hilang. Dari pelayan di toko obat diketahui Marisa hanya mampir membeli pembalut wanita, hal yang biasa, bukan membeli obat penenang atau racun yang berbahaya. Ia tidak sedang mengidap gangguan pikiran atau penyakit berat yang menganggu. Selanjutnya polisi mencoba mengembangkan penyelidikan dengan meminta ahli multimedia untuk membuka paksa notebook dan telepon genggam Marisa yang diberi password, polisi berharap menemui pesan-pesan yang dapat mengarahkan kepada penyebab kematian Marisa.

Sementara Rinaldi bersama wakil kedutaan dan wakil kepolisian melihat satu persatu video liputan rekaman yang sempat dibuat Ariyo dan Marisa, sepertinya tak ada yang membahayakan disana, ia mengemas segala pemberitaan dan ulasan yang kritis dengan begitu manis, sesuai keahliannya yang mampu bersahabat dengan berbagai golongan masyarakat. Ia tidak mencari permusuhan dengan individu para pelaku melainkan hanya mengkritik perilakunya. Beberapa pelaku korupsi yang sempat dijumpainya di rumah tahanan kepolisian metro Manila  mengaku tidak merasa terganggu dengan liputan Marisa dan Ariyo, cara Marisa mengorek berita cukup sopan dan justru dianggap menghibur karena banyak mengajak mereka bercanda. Buntu lagi. Kecurigaan bahwa Marisa dihabisi orang karena liputannya pun pupus sudah. Lalu jika ia bunuh diri, apa penyebabnya? patah hati kah Marisa? Andika sang kakak geleng-geleng kepala, setahunya adik semata wayangnya itu tak pernah memuja seorang pria secara berlebihan. Atau mungkin ia patah hati pada wanita? desak petugas penyidik pada Andika. Andika marah, ia meminta polisi mengungkap segera pesan-pesan yang ada di telepon genggam dan surat elektronik di notebook Marisa.

Dua kali dua puluh empat jam kini. Sesuai janjinya, akhirnya polisi metro Manila menutup penyelidikan kasus kematian Marisa dan mempersilahkan pihak keluarga dan pihak kedutaan Indonesia untuk mengurus pengiriman jenazah Marisa ke Indonesia. Mereka memastikan Marisa bunuh diri karena seluruh bukti yang menguatkan mengarah kesana. Tidak ada campur tangan pihak kedua ataupun pihak ketiga. Seluruh pesan dan panggilan yang masuk ke telepon genggam sudah disortir, tidak ada yang mencurigakan. Seluruh surat elektronik sudah ditelaah, umumnya surat menyurat biasa yang tidak mungkin mengganggu pikiran Marisa. Hasil visum dokter menyatakan tidak terdapat luka bekas penganiayaan di tubuh Marisa, tak tampak pula adanya penyakit yang mungkin telah menjadi penyebab kematiannya. Andika dan Rinaldi pulang dengan tangan hampa. Sebelum kembali ke tanah air, Ariyo teringat sesuatu. Ia mendesak pihak kedutaan untuk meminta hair dryer milik Marisa ke kepolisian metro Manila, entah kenapa ia yakin Marisa akan merasa senang jika hair dryer itu ikut dikuburkan bersamanya. Untunglah diperbolehkan. Hair dryer merah muda itu pulang ke Indonesia bersama tuannya, terbungkus rapi dalam plastik bening.

Minggu siang yang cerah itu, jenazah Marisa dikebumikan, disaksikan kerabat, sahabat dan ratusan pelayat yang bersimpati terhadap kisah hidup Marisa. Ariyo ikut turun menghantar sahabatnya ke peristirahatan terakhir, tak lupa ia menyisipkan hair dryer dan sisir kesayangan Marisa di samping tubuh yang terlilit kain putih itu. Mungkin cuma Tuhan, Marisa dan hair dryer itu yang tahu penyebab kematian Marisa. Andaikata hair dryer itu bisa bercerita, desah Ariyo yang masih tak rela sahabatnya dinyatakan bunuh diri, sambil berbisik mengucap salam perpisahan dari hati yang terdalam.

Ya andaikata hair dryer itu bisa bercerita, pastilah ia akan menguak, bahwa Marisa tak pernah bunuh diri ataupun dibunuh orang. Marisa hanya sedang sibuk bernyanyi dan menari salsa sambil mengeringkan rambutnya malam itu. Ia bergaya bak penyanyi ternama, menggunakan hair dryer itu sebagai mikenya, dan ia tak mampu menahan badannya saat terpeleset, hilang keseimbangan, terjatuh,  kabel hair dryer yang melingkar ditubuhnya melilit leher dan tertarik sedemikian kencang hingga ia tak mampu bernafas lagi. Ah sayangnya hair dryer itu tak bisa bercerita. Bisanya hanya bisu, diam, dan selain itu mengeringkan rambut tuannya.

Mei 2008, Puspita Widowati   

Thursday, May 1, 2008

[Cerpen] Kekasih Simpanan

ceritanya aku lagi belajar nulis cerpen niyy.. secara selama ini lebih banyak tulis catatan perjalanan or celotehan atas kejadian sehari-hari yg aku alami.. ternyata bikin fiksi itu susah banget, maklum kudu menghayal, paling susah nentuin ide cerita dan merangkai alurnya.. apalagi bahasa Indonesia ku pas-pasan, waahhh bener-bener bikin keringetan sakhing groginya.. but aku ga akan pernah nyerah, terus belajar, sampe nemu yg pas, terus berkarya, tetap semangat.. enjoy the story, and please gimme ur advice on it yahhh..
 
pesan cerita ini adalah: "Do what you want Others do unto You".. kira-kira nyampe ga..
 
Puspita Widowati - 1st May 2008..
 
note -->> thanks buat japrian advicenya: Ennie Rus n Tia.. kali ini udah gue revise yah.. sesuai permintaan, endingnya ga nggantung..
---------------------------------------------------
 
Kekasih Simpanan
 
Baju terusan bermotif batik Cirebonan ini memang sangat aku sukai, cuttingnya pas, warnanya cerah dan bahannya membuatku merasa nyaman. Sayang, modelnya mengharuskanku merepotkan orang lain setiap mengenakannya seperti pagi ini, suamiku jadi tertawa-tawa menggoda "wah ibu konsultan kita rapih sekali, mau menghadap ibu menteri yah" guraunya sambil mengaitkan kancing belakang baju ku.
 
Sudah tiga bulan ini aku menjalani profesi baru sebagai hotline consultant, pekerjaan yang tak kusangka-sangka cukup menarik. Modalnya hanyalah telepon genggam, kesabaran dan telinga untuk mendengarkan dengan cermat setiap keluhan 'teman cerita', sebutan para senior untuk pasien-pasien kami. Tidak perlu keluar rumah, bisa kulakukan saat suami dan anak-anak sudah berangkat ke sekolah, lebih bermanfaat dibandingkan menonton sinetron dan bisa menolong orang lain. 'teman cerita' kami memang hanya perlu pendengar yang dapat dipercaya atas semua cerita dan keluhannya. Yang membuatku merasa nyaman bekerja disini karena hotline consultant kami dikhususkan bagi wanita, sehingga membedakannya dengan hotline esek-esek yg meresahkan masyarakat.
 
Pengelola hotline consultant tempatku bergabung sangat menyadari banyaknya wanita yang ingin kerahasiaan identitas diri dan semua kisah hidup yang mereka bagi terjaga aman, sehingga mekanisme pelayanan kami pun sangat menyanjung tinggi privacy. 'teman cerita' hanya perlu men-dial nomor hotline kami yang bertarif premium dan selanjutnya pengelola akan mem-forward panggilan ke telepon genggam salah satu konsultan yang sudah ready, dengan sedikit mengaburkan suara si 'teman cerita'. 'teman cerita' dapat memilih konsultan yang diinginkan pada panggilan berikutnya, jika mereka sudah merasa nyaman dan enggan mengulang cerita. Semua kisah mereka dijamin tidak akan bocor ke pihak luar karena sistem telephoning kami sudah di-encrypted untuk menghindari penyadapan.
 
Animo jadi 'teman cerita' cukup tinggi, umumnya mereka malas pergi ke Psikolog karena malu mengunggap identitasnya, juga enggan bercerita pada teman dekat atau saudaranya sesama wanita, maklum wanita sering kali kelupaan menyimpan rahasia, apalagi kalau sudah waktunya ngerumpi di mall. Sementara kalau bercerita ke teman pria, nanti malah terjadi affair alias bertumbuh jadi TTM. Kami mengibaratkan para 'teman cerita' sebagai 'wanita ningrat', yang setiap saat harus tampak anggun walaupun berbagai masalah berkecamuk di hatinya, tetapi suamiku lebih suka menggodaku dengan menyebut mereka 'ibu-ibu menteri', sejak salah satu peneleponku mengaku istri asisten menteri yang ketakutan sang suami tercinta ketahuan korupsi.
 
Notes sudah siap di tangan, minuman dingin beserta kudapan sudah tersaji di meja, ku rapihkan lagi baju kesayanganku sebelum mengatur posisi duduk. Aku memang memilih teras kecil yang cukup teduh di halaman belakang rumah kami sebagai ruang kerja. Disini aku bisa santai mendengarkan curhat 'teman cerita' sambil memandang kehijauan taman, warna warni bunga dan menikmati angin semilir bertiup. Hemat energi, tidak perlu menyalakan lampu dan AC, serta tak terganggu aktivitas bersih-bersih mbok Yayi.
 
"Kinanti ready, mbak" laporku pada mbak Ratih, pengelola kami.
"OK Kinan, ditunggu yah teleponnya, baterainya penuh kan, jangan lupa senyum, baca Bismillah sebelum memberi saran, jangan sok tahu kalau kita tidak yakin tahu, dan jangan terlarut terlalu dalam pada masalah mereka" pesan mbak Ratih.
Tidak sampai tiga menit, telepon pertama langsung masuk.
"Kinan, ini Woro, ingat aku, trainer yang pernah ngobrol sama Kinan hampir dua bulan lalu?" sapa ramah suara lembut di ujung sana.
"Oh mbak Woro, apa kabar ibu guru?" tanganku bergerak cepat mencari catatan tentang Woro di notesku, aha ini dia.
 
Tentu Woro bukan nama aslinya, ia mengaku bekerja sebagai trainer motivator di salah satu lembaga pendidikan yang sering diminta memberikan training di perusahaan-perusahaan besar di Jakarta. Woro merasa nyaman bergabung dengan kami, karena untuk beberapa masalah yang ia hadapi ia enggan bercerita ke orang-orang di sekitarnya, mengingat profesinya sebagai motivator, yang tentu saja diharapkan orang tak pernah tampak down setiap saat setiap waktu. Padahal ia mengaku hanya manusia biasa yang kadang ingin juga menangis dan mengadu pada seseorang.
"maklum yah Kinan, kita ini lebih mudah memberi saran pada orang lain saat kita berada di luar kotak masalahnya, tapi jika kita berada dalam posisi dia, terkurung dalam kotak masalah, pasti juga tidak akan mudah bagi kita" adunya waktu itu.
 
Pada konsultasi pertamanya Woro menceritakan dilema yang dihadapi, ketika ia jatuh cinta pada Direktur SDM di perusahaan yang menjadi pelanggan jasa trainingnya. Tidak ada yang salah pada proses jatuh cinta itu, karena keduanya masih berstatus lajang, satu pria dan satu wanita. Masalahnya hanyalah Woro merasa menganiaya profesionalismenya selaku trainer yang merasa tidak pantas terlibat cinta lokasi dengan pelanggannya. Satu sisi Woro terpikat pada Dino yang ramah dan santun, tetapi Woro merasa canggung dan bingung untuk mengaku hal ini pada pimpinan lembaga pendidikannya. Aku memberinya semangat untuk terus maju, cinta perlu diperjuangkan, pesanku kala itu, sejauh tidak melanggar aturan perusahaan, baik tempat Woro maupun tempat Dino bekerja. Dan tampaknya Woro cukup puas dengan saran singkatku.
 
"Kinan, masih ingat ceritaku tentang Dino?"
"masih mbak, bagaimana kelanjutannya, saya harap ada berita baik kali ini, mudah-mudahan saja mbak Woro sedang bersiap mengirim undangan"
"amin, doakan saja yah Kinan. sejauh ini hubungan kami cukup baik, tepat sebulan lalu Dino menyatakan cintanya dan mengungkapkan keseriusannya untuk mengenal saya lebih jauh"
"alhamdulillah, selamat yah mbak Woro, semoga segala sesuatunya berjalan lancar hingga hari baik yang terindah itu tiba" ujar saya dengan ceria. Tangan kiriku refleks mengambil selembar tissue, tak sadar sudut mataku sudah basah, terharu mendengar kabar bahagia mbak Woro.
 
"amin, kami masih dalam proses menyatukan persepsi, yah menyatukan dua kepala manusia dengan berbagai sifat unik di dalamnya tentu butuh waktu dan usaha keras"
"betul mbak Woro, saya yang sudah menikah delapan tahun pun masih terus belajar mengerti dan memahami suami saya, wajar kok mbak"
"iya, tapi akhir-akhir ini saya seringkali sedih menghadapi Dino" imbuhnya lirih.
"apa yang bikin mbak sedih, kalau tidak keberatan berbagi dengan Kinan?" aku menunggu dengan cemas, aku berharap ini bukan kasus KDRT lagi seperti kisah 'teman cerita' yang kudengar kemarin.
 
"saya tak habis mengerti Kinan, dari awal kami menjalin hubungan ini, saya sudah meminta dia untuk menerima saya apa adanya, saya sadar diri bahwa saya punya banyak kekurangan"
aku terdiam,
"ia menyetujui, ia berjanji akan menerima saya apa adanya dan ia juga minta hal yang sama dari saya" perlahan suara disana terdengar semakin lirih,
"tapi terus dan terus ia membanggakan deretan mantan kekasihnya, Kinan, itu yang seringkali membuat saya mendidih dan akhirnya saya ketularan ikut membandingkan ia dengan mantan kekasih saya, walau ini tak terucap, tapi saya jadi merasa tersiksa"
"saya mengerti Kinan, saya berkencan dengan seorang Direktur perusahaan besar, tentu saja bertebaran wanita cantik disekelilingnya, ia sudah menikah pun masih banyak yang bersedia menjadi istri keduanya, apalagi ia masih lajang" sambungnya cepat.. suaranya tercekat..
 
"sepertinya Dino sendiri juga bimbang menjadikan saya calisus, mengingat ia berkali-kali bilang bahwa secara physically saya tak pernah masuk kriterianya"
"mbak Woro, maaf saya potong, apa itu calisus mbak, baru kali ini saya mendengar istilah itu" potong saya. Terdengar helaan nafas panjang di ujung sana, diakhiri dengan tawa lirih.
"calisus is calon istri serius, Kinan" bisiknya
"ohh maaf mbak, saya tidak tahu, silahkan dilanjutkan mbak Woro"
"iya begitulah Kinan, kamu bisa kan membayangkan typical pragawati, model yang cantik molek yang mendampingi ia selama ini, sementara saya bertahun-tahun menjadi trainer otomatis penampilan saya terprogram dengan profesi saya, tidak selalu serius, tapi harus anggun, sepertinya saya merasa tidak pantas mengajar training berdiri di hadapan banyak orang dengan rok mini dan rambut di cat warna warni, mengajarkan tentang empowerment dan motivasi diri, bisa-bisa murid saya lari, Kinan" keluhnya ..
"dan karena kecantikan itu given, sepertinya saya tidak bisa protes dengan penciptaan Tuhan atas diri saya yang seperti ini dan tidak seperti mereka" tambahnya lagi.
"setuju mbak, tapi entah kenapa yah mbak Woro, dari suara mbak, dari cara bicara mbak, Kinan yakin mbak Woro juga orang yang cantik" ujarku menimpali.
"cantik memang relatif Kinan, masing-masing wanita punya ciri khas kecantikan yang berbeda dari yang lain. selama ini saya tidak pernah merisaukan urusan kecantikan ini, yang penting saya merias diri untuk kepuasan diri sendiri, bukan orang lain. mahluk satu ini saja yang bikin saya tertuntut untuk jadi cantik sesuai kriterianya"
 
"wah repot juga yah mbak" tanpa sadar aku bergumam.
"itulah Kinan, repot kan. gara-gara sakit hati dengan kebiasaan beliau yang satu itu, saya pun jadi ikutan membandingkan dia dengan mantan kekasih saya. maaf bukannya saya sombong Kinan, walaupun saya tidak cantik tapi mantan-mantan saya juga tidak kalah tampan dan tidak kalah hebat dari seorang Dino, dan masalahnya mereka tak pernah mengagungkan mantan-mantannya seperti Dino"
"oh ya, wah menarik nih mbak, maaf boleh saya tahu, kenapa dulu tidak dilanjutkan mbak" potongku sangat ingin tahu.
"biasalah Kinan, orangtua kami tidak setuju, perkara klasik di negara kita, masalah sukuisme"
"ohhh" keluhku
 
"sedih Kinan kalau mengingat kisah saya dengan mereka, tapi sebenarnya semua cerita itu sudah terkubur lama, ini jadi saya ingat-ingat lagi karena terpancing oleh Dino, saya jadi merasa beliau ini kurang ajar karena menyiksa saya dengan kenangannya dan membangkitkan kenangan masa lalu saya juga, ini menyakitkan" ia pun mulai terisak.
"mbak sabar yah" hiburku..
"boleh saya memberi pendapat" ujarku perlahan..
"silahkan Kinan, saya percaya kamu"
"mbak Woro, walaupun mbak dan mas Dino masing-masing punya mantan yang tampan cantik dan hebat, semua itu tidak akan abadi jika Tuhan tidak menjodohkan kalian dengan mereka. saya yakin mas Dino lambat laun akan sadar bahwa kecantikan dan ketampanan itu tidak abadi, berbeda dengan cinta sejati yang dikirimkan Tuhan" hiburku..
"dan mbak Woro jauh lebih beruntung, walaupun mbak maupun mas sama-sama dikelilingi orang cantik dan tampan di hidup kalian, ada sedikit perbedaan, bisa jadi wanita cantik disekeliling mas Dino terpikat oleh kekayaan dan posisi yang dimilikinya, belum tentu mereka akan berada disana bila mas Dino bukan seorang Direktur. sementara pria tampan disekeliling mbak Woro, saya yakin mereka berada disana karena kepribadian, kesajahaan dan semangat jiwa mbak Woro, seandainya saja orangtua kalian merestui, pasti kisah itu tidak akan berakhir" timpalku lagi.
 
"ah Kinan bisa saja membesarkan hati saya, sepertinya Kinan lebih pantas jadi trainer motivator dibanding saya" rayunya.
"tapi Kinan, saya jadi kehilangan kepercayaan diri saya. saya merasa diri saya ini hanya wanita simpanan sang direktur"
"lho kenapa mbak?" tanyaku bingung
"Iya sampai saat ini ia tidak pernah mengenalkan saya dengan seorang pun sahabat maupun keluarganya, bahkan lingkungan kantornya tak ada yang mengetahui hubungan kami. mungkin dia malu memiliki saya yang tidak sesuai dengan kriterianya itu yah, Kinan"
"mungkin karena baru sebulan kalian saling dekat mbak, kita tunggu sampai tiga bulan nanti yah" hiburku.
 
"semoga itu alasannya. tapi karena kebiasaan perbandingan tadi, saya jadi sangat sensitif menyikapinya. saya jadi berprasangka buruk padanya. saya merasa ia tidak adil, disatu sisi ia minta saya menghapus semua kenangan masa lalu bahkan bersama teman-teman dekat saya yang berlainan jenis, dan saya sudah melakukan hal itu untuknya, hampir disemua property saya sudah terpampang foto beliau, saya juga sudah mengajaknya mengenal lingkungan saya. sementara dia seperti menyembunyikan keberadaan saya. benar-benar Kinan, saya merasa saya ini wanita simpanan" mulai terdengar isak tangis panjang. aku pun mulai terlarut dan mengambil selembar tissue lagi.
"sabar yah mbak, kita sama-sama tunggu tiga bulan lagi" semangatku
 
"saya benci keadaan ini Kinan, saya yakin saya sudah terperangkap mencintainya, sungguh-sungguh mencintainya, tapi saya tidak ikhlas dia memperlakukan saya seperti ini" keluhnya,
"mbak Woro, kuatkan hati mbak, kita berdoa bersama dan kita serahkan pada Tuhan untuk menyadarkan mas Dino agar tidak lagi menyakiti hati mbak" hiburku,
"mbak juga jangan ikut-ikutan mengingat mantan-mantan mbak" tambahku lagi..
"iya Kinan, saya tahu ini salah" akunya lirih..
"saya pernah baca tulisan ibu Dewi Motik, mbak, beliau berpesan bahwa kita belum mencintai bila belum memberi, mungkin ini yang sedang mbak Woro alami, mbak harus memberinya waktu" ujarku pelan
 
"hmmm, kamu benar Kinan, sepertinya tidak percuma kamu memilih nama Kinanti, kamu selalu sabar menanti, memberi waktu bagi orang lain untuk berubah lebih baik, seandainya saya bisa seperti kamu" desahnya,
"amiinn" jawabku bersemangat.. dalam hati aku tertawa, aku sendiri tak yakin bisa bersabar jika mengalami kisah seperti mbak Woro, aku sadar paling tidak enak diperbandingkan, dan kalaupun suamiku sempat melakukan hal itu padaku, pasti aku tidak akan pernah menikah dengannya, terlalu beresiko mendampingi orang yang terbayang-bayang masa lalunya.
"Kinan, aku pamit dulu yah, satu jam lagi aku harus mengajar, terima kasih kamu sudah mau mendengarkan ceritaku, tolong simpan kisahku, doakan aku tetap bertahan mendampingi Dino, kapan-kapan aku update lagi" cetus mbak Woro melarutkan lamunanku.
 
Kami pun berpamitan dan pembicaraan terputus. Tapi aku masih melamun. Tiba-tiba aku jadi ikut teringat para mantanku, ah cepat-cepat aku hapus bayangan mereka satu persatu. Teriakan Mario putra sulungku dari ruang dalam ikut mengagetkan aku, rupanya kedua anakku sudah pulang sekolah. Kulirik penunjuk waktu di handphoneku. Astaga, tidak terasa tiga jam sudah aku mengobrol dengan mbak Woro. Baju kesayanganku basah terkena keringat, tiga lembar tissue sudah berpindah tempat dan handphoneku memberi pesan 'low bat'. Oh ala.
 
"mama habis terima telepon dari teman cerita, ya?" tanya Mario sambil berlari mendekatiku..
"nanti cerita ke kita yah ma, ada cerita seru apa hari ini", rayunya sambil menggelendot di lenganku.. aku hanya mengusap kepalanya dan berbisik "hari ini cuma ada satu cerita, tentang kekasih simpanan, tapi ceritanya tidak untuk anak kecil ah, kita pesta es krim saja yah" rayuku.. ia tersenyum dan berlari masuk, hendak memberitahukan berita baik pada adiknya, tidak sampai lima langkah ia berbalik
"ma, kekasih simpanan itu apa sama seperti uang simpanan di bank" tanyanya ragu,
gubrak, aku pun tertawa tergelak dan berlari menggapai jagoan kecilku.
 
lamat-lamat terdengar alunan suara Rossa dari radio mbok Yayi di dapur,
.. dan tak seindah kisah yang lalu,
yang jalan dan jalin tanpa restu,
kuakhiri tapi tak berakhir,
kuingkari hati tak ingin terpisah..
membuatku sejenak termangu, teringat cerita mbak Woro hari ini..
 
Dua bulan kemudian, tangan lentik Kinanti menggoreskan lagi beberapa baris catatan tambahan tentang Woro. Trainer bersuara lembut itu telah memutuskan untuk meninggalkan Dino. Waktu yang diberikan Woro tak bisa ditawar, walau Kinanti sudah minta perpanjangan hingga satu bulan lagi. Woro menyerah, ia meminta Dino menyadari posisinya. Bagaimana pun ia ingin menikah seutuhnya, bukan hanya status semata, ia ingin dicintai setulus hati, tidak hanya sekedar pelengkap penderita akan kekurangan Dino. Dan Woro tak bisa menerima kenyataan bahwa seorang Dino hanya mau mencintai sesama jenisnya. Woro sungguh tidak menyangka, semua cerita Dino tentang sederet wanita yang menjadi mantan-mantannya hanyalah kebohongan belaka. Entah apa maksudnya dibalik semua kepalsuan yang Dino ciptakan. Tapi Woro merasa bahagia, kini, semua teka-teki itu terkuak sudah, paling tidak ia bukan wanita simpanan seperti yang dikira. Kinanti ikut tersenyum lega.
 
---