Monday, May 19, 2008

[Cerpen] Hair Dryer Marisa

Hulaa.. cerpen kedua niy.. tulung kasih input yahh..  pesen yang mau aku sampein dari tulisan ini: orang itu ga selalu seburuk yang kita duga, kadang ia cuma polos-polos aja pikirannya, tapi kita udah kepusingan mengira dia A,B,C,D,E.. kasian khan.. enjoy yaa..

HAIR DRYER MARISA

Sebagian besar rekan sejawatnya tahu betapa tergantungnya Marisa pada hair dryernya. Alat elektronik satu itu selalu ada dalam tas kerja yang setia menemaninya bertugas. Bendanya sendiri tak terlalu istimewa, bukan buatan merek ternama, tidak sehebat hair dryer yang ada di salon-salon terkemuka, berwarna merah muda dan tidak terlalu besar ukurannya sehingga membuat Marisa merasa nyaman membawanya kemana pun ia pergi.

"Ini obat cantikku" aku Marisa dengan bangga pada mereka yang menanyainya tentang benda itu. Para kameramen pun sudah hafal kebiasaanya menghilang selama satu dua menit dengan hair dryer di tangan sebelum tampil membawakan liputan langsung. Ia memang sangat tidak percaya diri tampil di tv jika rambutnya dalam keadaan "tak layak kamera" istilah yang ia berikan pada rambut yang tak tersisir rapi. Anehnya kadang ketergantungannya terlalu berlebihan, seperti orang mencandu, bahkan ketika ia pergi ke salon pun ia meminta mbak mas kapster untuk menggunakan hair dryer yang ia bawa. Alasannya macam-macam, seringkali ia bilang hair dryer di salon terlalu panas dan merusak rambutnya, tapi kadang ia berseloroh dalam canda "disuruh mbah dukun pakai hair dryer ini terus mbak, kalau tidak nanti susuknya hilang", dan sang kapster dibuatnya enggan berbantah lagi.

Namun tak seorang pun yang menyangka bahwa hair dryer itu akan begitu setia pada tuannya, hingga turut mengantar Marisa ke gerbang kematiannya. Setidaknya itulah kesan yang tertangkap dari ulasan berita koran-koran lokal di negeri Cory Aquino pagi itu. Tertulis besar di halaman depan, Jurnalis Indonesia Ditemukan Tewas di Kamar Hotel. Dijelaskan disana, reporter berita sebuah tv swasta dari Indonesia bernama Marisa telah mengakhiri hidupnya dengan melilitkan kabel hair dryer di lehernya yang jenjang. Saat ditemukan menjelang jam delapan malam waktu setempat oleh pihak hotel, tubuhnya terkulai di bangku kecil di depan meja rias, di kanan kirinya tergeletak notebook yang masih setengah terbuka dan layarnya pun masih menyala, dua buah telepon genggam berserakan di atas lantai beralas karpet. Hair dryer itu tidak lagi tersambung ke aliran listrik, tetapi panas yang tersisa dan sisir yang terlempar tidak jauh dari tubuh korban menunjukkan Marisa belum lama lalu menata rambutnya.

Jika saja tidak ada sebatang rokok yang masih menyala dan terjatuh hingga membolongi karpet dan menyeruakkan bau gosong di dalam kamar itu, tentu tetangga depan kamar Marisa tidak akan menaruh curiga dan melaporkan pada pihak hotel. Untung saja kebakaran belum sempat meluas dan merusakkan tempat kejadian perkara, hingga para penyelidik masih dapat bergerak bebas melakukan pekerjaanya. Untuk sementara waktu kepolisian metro Manila menyimpulkan Marisa mengambil jalan pintas mengakhiri hidupnya seusai menerima berita via telepon ataupun via internet yang mengejutkan. Tetapi stasiun televisi tempatnya bekerja meminta kepolisian Manila melebarkan penyelidikannya pada pihak-pihak yang terkait dengan berita liputan Marisa dan Ariyo kameramennya. Mereka mengantisipasi adanya kemungkinan Marisa dihabisi pihak yang merasa dirugikan dengan liputan Marisa. Marisa dan Ariyo memang tengah mengejar berita seputar kasus korupsi yang dilakukan salah satu petinggi di negeri penghasil pisang itu. Mereka berencana membuat liputan eksklusif berupa studi banding penanganan korupsi di Filipina dengan di Indonesia, sebagai bentuk keprihatinan mereka akan banyaknya kasus korupsi yang tidak terselesaikan di Indonesia.

Mungkinkah Marisa diincar oleh pelaku korupsi di Filipina, atau justru oleh salah satu oknum dari Indonesia. Ada banyak kemungkinan. Yang pasti sejak kejadian itu, Ariyo pun berada dalam pengawalan penuh petugas Kedutaan Besar RI, ia menolak memberi keterangan kepada pers setempat kecuali didampingi oleh pengacara dan petugas kepolisian metro Manila. Kecurigaan ini membuat kepolisian Manila meminta izin pada pihak kedutaan dan keluarga untuk menahan jenazah Marisa berikut hair dryer dan barang bukti lainnya hingga penyidikan selesai. Mereka menjanjikan dalam dua kali dua puluh empat jam kasus ini akan terungkap.

Orang tua Marisa menugaskan Andika, kakak Marisa berangkat ke Manila pagi itu juga mendampingi Rinaldi, sang produser pelaksana acara berita yang dikirim oleh stasiun tv tempat Marisa bekerja. Keduanya bertolak dalam gelisah, duduk bersandingan di pesawat tanpa terucap satu kata pun. Diam dalam perenungan. Masih seperti mimpi membayangkan Marisa yang ceria, cerdas, pandai bergaul dan sangat mandiri itu akan menyisakan cerita tragis di akhir hidupnya. Mereka ingat, Marisa selalu bersemangat dalam penugasan liputan di berbagai tempat, bahkan medan perang yang berbahaya sekalipun. Ia begitu mencintai pekerjaannya hingga nekat meminta kelonggaran pada kedua orang tuanya untuk dibiarkan tidak berpikir tentang pasangan hidup dan pernikahan sampai tiga tahun kedepan, saat dirasa langkahnya telah cukup untuk menjadi reporter yang matang. Ia terobsesi mengikuti jejak seniornya, idolanya, reporter di stasiun tv yang menjadi pesaing berat tv Marisa, Meutya Hafidz yang tersohor karena kemampuannya bertahan hidup saat disandera pelaku perang di Timur Tengah.

"Aku ingin jadi reporter yang menjadi berita utama, bukan melulu memberitakan orang lain" kata Marisa pada Rinaldi, suatu hari setelah ia menuntaskan membaca buku karangan Meutya Hafidz. Rinaldi menghela nafas, ah anak asuhku yang tak bisa diam, kini kau sudah jadi berita Marisa, tapi aku tak pernah berharap berita macam ini yang akan disampaikan jurnalis lain tentangmu, desah Rinaldi.

Satu kali dua puluh empat jam berlalu sejak tubuh Marisa ditemukan. Polisi masih tetap pada kesimpulan mereka yang pertama. Marisa bunuh diri. Kamar tempat kejadian perkara telah selesai disisir, berikut koridor lantai 11 hotel bintang empat itu, juga toko obat yang sempat dikunjungi Marisa sore sebelumnya. Tak ada yang mencurigakan, tak ditemui bekas pencongkelan atau sesuatu barang pun yang hilang. Dari pelayan di toko obat diketahui Marisa hanya mampir membeli pembalut wanita, hal yang biasa, bukan membeli obat penenang atau racun yang berbahaya. Ia tidak sedang mengidap gangguan pikiran atau penyakit berat yang menganggu. Selanjutnya polisi mencoba mengembangkan penyelidikan dengan meminta ahli multimedia untuk membuka paksa notebook dan telepon genggam Marisa yang diberi password, polisi berharap menemui pesan-pesan yang dapat mengarahkan kepada penyebab kematian Marisa.

Sementara Rinaldi bersama wakil kedutaan dan wakil kepolisian melihat satu persatu video liputan rekaman yang sempat dibuat Ariyo dan Marisa, sepertinya tak ada yang membahayakan disana, ia mengemas segala pemberitaan dan ulasan yang kritis dengan begitu manis, sesuai keahliannya yang mampu bersahabat dengan berbagai golongan masyarakat. Ia tidak mencari permusuhan dengan individu para pelaku melainkan hanya mengkritik perilakunya. Beberapa pelaku korupsi yang sempat dijumpainya di rumah tahanan kepolisian metro Manila  mengaku tidak merasa terganggu dengan liputan Marisa dan Ariyo, cara Marisa mengorek berita cukup sopan dan justru dianggap menghibur karena banyak mengajak mereka bercanda. Buntu lagi. Kecurigaan bahwa Marisa dihabisi orang karena liputannya pun pupus sudah. Lalu jika ia bunuh diri, apa penyebabnya? patah hati kah Marisa? Andika sang kakak geleng-geleng kepala, setahunya adik semata wayangnya itu tak pernah memuja seorang pria secara berlebihan. Atau mungkin ia patah hati pada wanita? desak petugas penyidik pada Andika. Andika marah, ia meminta polisi mengungkap segera pesan-pesan yang ada di telepon genggam dan surat elektronik di notebook Marisa.

Dua kali dua puluh empat jam kini. Sesuai janjinya, akhirnya polisi metro Manila menutup penyelidikan kasus kematian Marisa dan mempersilahkan pihak keluarga dan pihak kedutaan Indonesia untuk mengurus pengiriman jenazah Marisa ke Indonesia. Mereka memastikan Marisa bunuh diri karena seluruh bukti yang menguatkan mengarah kesana. Tidak ada campur tangan pihak kedua ataupun pihak ketiga. Seluruh pesan dan panggilan yang masuk ke telepon genggam sudah disortir, tidak ada yang mencurigakan. Seluruh surat elektronik sudah ditelaah, umumnya surat menyurat biasa yang tidak mungkin mengganggu pikiran Marisa. Hasil visum dokter menyatakan tidak terdapat luka bekas penganiayaan di tubuh Marisa, tak tampak pula adanya penyakit yang mungkin telah menjadi penyebab kematiannya. Andika dan Rinaldi pulang dengan tangan hampa. Sebelum kembali ke tanah air, Ariyo teringat sesuatu. Ia mendesak pihak kedutaan untuk meminta hair dryer milik Marisa ke kepolisian metro Manila, entah kenapa ia yakin Marisa akan merasa senang jika hair dryer itu ikut dikuburkan bersamanya. Untunglah diperbolehkan. Hair dryer merah muda itu pulang ke Indonesia bersama tuannya, terbungkus rapi dalam plastik bening.

Minggu siang yang cerah itu, jenazah Marisa dikebumikan, disaksikan kerabat, sahabat dan ratusan pelayat yang bersimpati terhadap kisah hidup Marisa. Ariyo ikut turun menghantar sahabatnya ke peristirahatan terakhir, tak lupa ia menyisipkan hair dryer dan sisir kesayangan Marisa di samping tubuh yang terlilit kain putih itu. Mungkin cuma Tuhan, Marisa dan hair dryer itu yang tahu penyebab kematian Marisa. Andaikata hair dryer itu bisa bercerita, desah Ariyo yang masih tak rela sahabatnya dinyatakan bunuh diri, sambil berbisik mengucap salam perpisahan dari hati yang terdalam.

Ya andaikata hair dryer itu bisa bercerita, pastilah ia akan menguak, bahwa Marisa tak pernah bunuh diri ataupun dibunuh orang. Marisa hanya sedang sibuk bernyanyi dan menari salsa sambil mengeringkan rambutnya malam itu. Ia bergaya bak penyanyi ternama, menggunakan hair dryer itu sebagai mikenya, dan ia tak mampu menahan badannya saat terpeleset, hilang keseimbangan, terjatuh,  kabel hair dryer yang melingkar ditubuhnya melilit leher dan tertarik sedemikian kencang hingga ia tak mampu bernafas lagi. Ah sayangnya hair dryer itu tak bisa bercerita. Bisanya hanya bisu, diam, dan selain itu mengeringkan rambut tuannya.

Mei 2008, Puspita Widowati   

6 comments:

  1. seru :) berbakat nih jadi penulis cerpen :)di publiklasikan donk jadi novel :)

    ReplyDelete
  2. masih belajar niy Lin :-).. kayaknya masih jauh kalo bikin novel.. masih bingung manjang-manjangin ceritanya..

    ReplyDelete
  3. ...endingnya bagus cuma mungkin diawal dan ditengahnya lebih cenderung kaya reportase ya. mungkin kalo dibikin lebih story telling akan lebih nice reading loowh, mba....idenya original, anyway:)

    ReplyDelete
  4. siap bu, nanti daku kutak-katik lagi deh bahasanya.. thanks ya dess inputnya..

    ReplyDelete
  5. Termotivasi juga elo akhirnya ..... (racunnya ampuh juga) hihihihihihihihi

    *lebih banyak baca buku2 deh non* atau ikut lomba2 penulisan cerpen gitu..
    salut gw sama elo.. dari jaman sd sampai sekarang rajin nulis ...

    ReplyDelete
  6. hehehe thanks bu.. gue nyadar kok, racun dari lu selalu ada madunya.. cieehhh lagu jadul amat yah madu dan racun.. wkakkak

    ReplyDelete