Sunday, December 11, 2005

Don't Judge The Book From Its Cover


Sampai saat ini rasanya masih sulit untuk sebagian besar masyarakat kita menilai seseorang bukan dari packagingnya saja. Mereka yang berkata bahwa inner beauty yang terpenting hanyalah mengaburkan realita, begitu pengamatan Samuel Mulia kolumnis gaya hidup di harian Kompas. Pencitraan seseorang tetaplah berdasar cara dia mengemas dirinya, baju dan accessories yg dikenakan, tatanan rambut, dandanan, bahkan parfum yg digunakannya (oops ini gue kali yee yg suka ngendus-ngendus nandain parfumnya orang hehehe). Kemudian tanpa sadar kita pun mulai mempersempit jendela pandang kita tentang orang tersebut, .. hmm dia anak gaul tuh lihat donk rambutnya, atau .. dia pasti orangnya kalem karena dia suka pake warna salem ;-p.

Padahal apakah packaging bisa sedemikian rupa merefleksikan jiwa – karakter – prinsip hidup – bahkan keimanan seseorang ? let’s think bout it.

Sekedar bahan pembelajaran, tanpa bermaksud mengunggulkan yg satu dan menyudutkan yg lain, mari kita lihat selebriti kita yg sedang laris-larisnya dipublikasikan di infotainment. Hampir disaat yg bersamaan diberitakan Agnes Monica, si cantik dgn dandanan super nyentrik, meluncurkan album barunya dan bersiap go international lewat berduet dgn Keith Martin. Sementara teman sebayanya si manis lembut Enno Lerian, diberitakan siap bercerai dgn pria yg dinikahinya 2 tahun lalu. Dua public figure ini bak langit dan bumi, yg satu selalu tampil dgn dandanan yg serba nyeleneh tetapi ternyata prestasi di bidang acting dan tarik suaranya patut dibanggakan, selain juga kenyataan bahwa ia adalah anak mami yg sangat dekat dgn keluarga, rajin ibadah di gereja, juga murid yg pandai di sekolahnya. Sementara yg satunya walaupun tidak pernah ada keanehan dalam dandanannya tapi sempat diberitakan terpaksa menikah dini karena telah berbadan dua, dan kini akhirnya bercerai dgn alasan belum cukup dewasa.

Hidup memang tentang pilihan, mau jadi Agnes atau mau jadi Enno misalnya, itu pilihan kita. Tapi bisakah kita menutup telinga dari komentar orang-orang di sekitar kita? Lalu kita sendiri, apakah kita sudah cukup fair menilai seseorang dari inner dan outernya? Mungkinkah kita merugikan seseorang dengan penilaian kita? Pernahkah kita merasa dirugikan dgn penilaian orang?

Sedikit sharing, beberapa kali saya merasa dirugikan dgn penilaian orang sebatas packaging, kebetulan saya menganut prinsip base on mood untuk outer look, tanpa pusing dgn brain, soul dan behaviour yg saya miliki. Jadi ketika saya masih rajin clubbing sekitar tujuh tahun lalu, saya sempat ditegur oleh seorang kenalan, tidak berhenti sampai disitu ceramah pun mengalir tentang gambaran perempuan yg baik dan benar versi kenalan itu, untungnya kekasih saya yg baik hati tetap tersenyum dgn penuh pengertian, karena dia tahu saya yg gedumbrangan ini kali lain akan berdakwah ttg filsafat, dan berganti nama jadi cengengiwati :p. Kedua kalinya, saat saya mengenakan wardrobe yg anggun dan charming pada satu acara kantor, tiba-tiba salah satu komisaris yg baru sekali itu saya temui menghampiri dan menanyakan, siapa yg terima kamu kerja di perusahaan ini? Kalau si A, pasti karena penampilan kamu, tapi kalau si B saya percaya kamu pintar. Sejak saat itu, setiap kali saya membuat artikel ttg marketing & customer service yg akan tertulis di bawahnya, alumnus FE UI, songong sih tapi daripada garing dibilang manado alias menang nampang doang.

Ppft beruntungnya saya cukup cerewet dan punya keberanian untuk terbuka berekspresi, dengan berbagi cara pandang lewat tulisan ataupun debat dengan orang lain. Sehingga sedikit banyak saya bisa meluruskan pandangan orang-orang tentang diri saya, walaupun ada beberapa orang yg masih saya biarkan menganggap diri saya misterius dan mengerikan ;-) biar deh, gak penting getuw. Tapi bagaimana dgn orang lain yg tak bisa mengklarifikasi suara-suara yg salah tentang pencitraannya? Haruskah mereka pasrah menerima komentar yg tidak enak akibat packaging dan pencitraan yg tidak sesuai kemauan khalayak.

Jadi saya masih tetap menyetujui kata bijak ’Dont Judge the Book from Its Cover’, karena seharusnya kita lihat keseluruhan buku nya dulu, dibaca bab per bab dan dilihat adakah makna yg tersirat, berhati hati dalam membuat kesimpulan tentang pribadi seseorang. Untuk diri sendiri, mungkin tak ada salahnya kita jadi buku yg enak dilihat, enak dibaca, bagus dan mendidik isinya, mudah dibawa, harga premium tapi bisa membuat pembeli merasa priceless ketika merasakan manfaat saat membacanya.

Keep the good faith pals.


^-^ Puspita - 10 Dec 2005

5 comments:

  1. Keliatannya harus diterapkan standar ganda; terhadap orang lain, kita harus mengerti kalau mereka akan judge the cover first, sedangkan terhadap diri sendiri, kita harus mengerti bahwa kadang the cover doesn't describe the content. =)

    ReplyDelete
  2. Setojoooo... :-) Thanks for your input Bayu..

    ReplyDelete
  3. Aduh mbak, daleeeemmmmm....
    Sama' bangeeett... Makanya kadang gue suka bingung sama orang2.. Tanpa konfirmasi dan kompromi, tiba2 memberikan penilaian yang cuma diratapi dari luarnya aja.. haayyaaa..

    ReplyDelete
  4. kita ambil positifnya aja kali ya boo, secara masih ada yg mo nilai kita getuw (biarpun salah).. kalo saja ilmu jiwa bisa disamain matematika, alias 1+1=2 dah pasti, mungkin ga akan seribet ini..

    ReplyDelete
  5. salam kenal mbak.
    aku juga punya pengalaman kayak begitu yang telah salah menilai orang membuat ku kapok selamanya.

    ReplyDelete